Charlie Chaplin pernah bilang, “Cuma badut yang bisa membuat manusia terbang ke awan, bukannya para politikus yang tukang berantem,” mulai terbukti kebenarannya.
Profesi badut sebenarnya tak kalah tua dengan kemampuan manusia berpolitik praktis. Konon, sejak zaman Yunani dan Romawi kuno, sudah ada manusia penghibur yang memoles wajahnya dengan bedak tebal dan berpakaian aneh, serta fasih memperagakan mimik-mimik lucu.
Belakangan, istilah badut sendiri melebar ke mana-mana. Lihat saja, hampir semua pelawak dan pemancing tawa kini juga kerap dijuluki sebagai badut. Bahkan orang serius yang sedang bertingkah laku konyol pun dikatai badut. Ya, sebagai istilah, badut memang mengalami perluasan makna.
Tapi kalau melihat sejarahnya, badut mengacu pada seseorang yang punya dandanan lucu (kadang meniru karakter komik). Selain itu, didukung make-up tebal cenderung menor, hingga kostum berwarna norak nan unik. Ditambah kemampuan memperagakan mimik lucu dan gerakan-gerakan konyol, tanpa sedikit pun melepas kata-kata. Inilah yang membedakannya dengan pelawak konvensional. Badut mulai berkembang seiring perkembangan zaman, misalnya badut pesta, badut ulang tahun, dan beberapa tempat juga ada sanggar badut.
Di Abad Pertengahan (sekitar tahun 500 M hingga 1.500 M) contohnya, tersebutlah karakter badut atau Professional Clown yang sangat terkenal. Masyarakat Eropa, khususnya Italia, mengenalnya sebagai arlecchino atau harlequin, yang dipopulerkan kelompok sandiwara commedia dell' arte. Kostum yang digunakan pun masih sangat sederhana, belum se-ngejreng sekarang.
Sedangkan busana badut seperti yang dikenal sekarang, sesungguhnya hasil perkembangan kostum yang pernah populer di Jerman dan Inggris, sekitar abad ke-18 M. Kala itu, dandanan dan gaya pantomim Pickellherring begitu terkenal. Cirinya, baju dan sepatu gombrong (kebesaran), penutup kepala warna-warni, serta renda besar yang melingkar di seputar leher sang badut.
Salah satu pelopor pemakaian kostum badut modern, sekaligus bintang sirkus di awal abad ke-18 M, adalah karakter Jocy yang diciptakan Joseph Grimaldi. Konon, kelebihan Jocy yang membuatnya dikenang dalam sejarah perbadutan adalah kemampuannya menghidupkan tokoh badut yang diperankan. Jocy tak sekadar melucu, tapi juga memainkan perasaan penontonnya, lewat mimik sedih, bahkan ketakutan.
Menjelang era perfilman modern, karakter badut mengilhami banyak tokoh bisnis hiburan. Komedian Charlie Chaplin dan Buster Keaton misalnya, mengadopsi spirit para badut dalam semua film bisunya. Mulailah perkembangan era baru perbadutan, dari awalnya mengamen di jalan, menjadi bagian tak terpisahkan dari bisnis hiburan.
Barangkali benar kata penulis lagu beken Amerika, Cole Porter (1893-1964): “All the world loves a clown.” Ya, sepertinya memang tak seorang pun di muka bumi ini yang tak suka badut. Tak salah kalau dia layak diberi gelar warga favorit dunia
rileks.com
0 komentar:
Posting Komentar